Mal Sepi Bukan Gara-Gara Rojali-Rohana, Ini Penyebab Sebenarnya
Jakarta – Fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana) belakangan menjadi sorotan publik. Namun, menurut Policy and Program Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti), Piter Abdullah Redjalam, sepinya mal di Indonesia tidak semata-mata disebabkan oleh tren tersebut.
Perubahan Gaya Hidup Jadi Faktor Utama
Piter menjelaskan bahwa penyebab utama mal sepi adalah perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin mengandalkan teknologi digital. Mulai dari memesan makanan di malam hari menggunakan layanan pesan-antar, hingga memesan transportasi secara daring, semua bisa dilakukan tanpa perlu keluar rumah. Fenomena ini bahkan terjadi hingga ke wilayah pedesaan.
“Kita bisa melihat mal-mal sepi bukan karena Rojali dan Rohana, melainkan karena gaya hidup yang sudah berubah,” ujar Piter dalam acara Peluncuran Laporan Riset Ekonomi Digital Indonesia di Jakarta Selatan, Selasa (12/8/2025).
Belanja Online Menggeser Peran Mal
Menurut Piter, kebiasaan berbelanja juga mengalami pergeseran signifikan. Dulu, antrean panjang di kasir supermarket adalah pemandangan biasa, tetapi kini banyak orang memilih berbelanja secara online. Hal ini membuat pusat perbelanjaan semakin jarang dipadati pembeli.
Beberapa alasan belanja online lebih diminati:
- Kemudahan transaksi tanpa harus keluar rumah
- Banyak promo dan diskon eksklusif
- Pengiriman cepat dan layanan refund yang praktis
- Ketersediaan berbagai metode pembayaran digital
Potensi Ekonomi Digital Sangat Besar
Meski berdampak pada sepinya mal, digitalisasi justru membuka peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Piter menyebut, ekonomi digital bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8%, terutama dengan berkembangnya sektor pekerja lepas (gig workers) dan industri kreator konten.
“Transaksi digital semakin masif, belum lagi kontribusi dari para pekerja lepas dan kreator konten. Potensi ekonomi digital ini luar biasa besar,” tegas Piter.

Kesimpulan
Fenomena mal sepi bukanlah semata karena Rojali dan Rohana, melainkan dampak dari perubahan gaya hidup digital yang semakin mengubah cara masyarakat berbelanja. Di satu sisi, hal ini menjadi tantangan bagi pengelola pusat perbelanjaan, namun di sisi lain menjadi peluang emas bagi perkembangan ekonomi digital di Indonesia.